Aspek
Keadilan Sosial Pembangunan Rumah Susun Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
Oleh: Karyono, Nurhafiati, Adi Rustam, Yudi Miharman, dan Y. Aam Enita
Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman merupakan indikator
penting dalam menyangga peradaban manusia. Ini karena kondisi masyarakat dalam
bermukim dapat menjadi tolok ukur kesejahteraan masyarakat. Pemerintah juga
menjadikan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman sebagai program
nasional untuk mewujudkan rumah layak huni bagi setiap keluarga di Indonesia.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun merupakan
bukti keseriusan politik pemerintah, khususnya dalam pembangunan perumahan di
daerah-daerah yang ketersediaan lahannya terbatas.
Perkembangan
jaman dan semakin bertambahnya jumlah rumah susun yang telah dibangun tidak
terlepas dari permasalahan yang terjadi pada suatu komplek hunian rumah susun,
sehingga menuntut partisipasi dan peran serta pemerintah untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada. Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun sebagai pengganti Undang-Undang No. 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun sekaligus sebagai jawaban atas sebagian
permasalahn rumah susun yang sedang berkembang. Hal ini bisa dilihat pada
konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut point e, “Bahwa
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun sudah tidak sesuai dengan
perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang, dan partisipasi masyarakat serta
tanggung jawab dan kewajiban Negara dalam penyelenggarakan rumah susun perlu
diganti”.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 merupakan penegasan politik
hukum nasional di bidang perumahan, sekaligus mencerminkan keberpihakan
pemerintah dalam memberikan kepastian bermukim bagi masyarakat, khususnya yang
berpenghasilan menengah ke bawah. Undang-undang ini diharapkan dapat menjawab
tantangan dalam pembangunan perumahan di Indonesia, terutama terkait masalah
kekurangan pasokan rumah (backlog) yang saat ini mencapai 7,4 juta unit
dan terus tumbuh sekitar 710.000 unit per tahun. Ini juga menjawab masalah terus meningkatnya permukiman kumuh dari area seluas 54.000 hektare menjadi 57.000 hektare dalam kurun waktu 2004-2009. Padahal pemenuhan hak dasar atas rumah merupakan amanat UUD 1945 Pasal 28H, dimana setiap penduduk Indonesia berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Apalagi rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan memunyai peran penting dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa.
dan terus tumbuh sekitar 710.000 unit per tahun. Ini juga menjawab masalah terus meningkatnya permukiman kumuh dari area seluas 54.000 hektare menjadi 57.000 hektare dalam kurun waktu 2004-2009. Padahal pemenuhan hak dasar atas rumah merupakan amanat UUD 1945 Pasal 28H, dimana setiap penduduk Indonesia berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Apalagi rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan memunyai peran penting dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa.
Untuk itu, pemerintah menyelenggarakan pembangunan rumah susun
dengan tujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Uundang-Undang No. 20 Tahun
2011 :
1.
menjamin
terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang
sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta menciptakan pemukiman yang
terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya;
2.
meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta menyediakan ruang
terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam menciptakan kawasan permukiman yang
lengkap serta serasi dan seimbang dengan memperhatikan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
3.
mengurangi
luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh;
4.
mengarahkan
pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, seimbang, efisien, dan produktif;
5.
memenuhi kebutuhan
sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni dan masyarakat dengan
tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang
layak, terutama bagi MBR;
6.
memberdayakan
para pemangku kepentingan di bidang pembangunan rumah susun;
7.
menjamin
terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau, terutama bagi MBR
dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam suatu
sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang terpadu; dan
8.
memberikan
kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan, dan kepemilikan
rumah susun.
Agar tujuan pembangunan rumah
susun dapat tercapai, perlu adanya pembinaan dari pemerintah. Sesuai Pasal 6
ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2011, pembinaan yang dimaksud meliputi
perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
Surat Keputusan Bersama (SKB)
tiga menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Perumahan Rakyat dan Menteri
Pekerjaan Umum, Nomor : 648-384/1992 menegaskan bahwa pembangunan perumahan dan
pemukiman diarahkan untuk mewujudkan kawasan dan lingkungan perumahan dan
pemukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang. Perumahan tersebut meliputi
rumah sangat sederhana, rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah dengan
perbandingan dan kriteria tertentu, sehingga dapat menampung secara serasi
antara kelompok masyarakat berbagi profesi, tingkat ekonomi dan stastus sosial.
Perbandingan rumah sangat sederhana dan rumah sederhana : rumah menengah :
rumah mewah adalah 6 : 3 : 1. Jadi setiap pembangunan 100 rumah mewah harus
membangun 300 rumah menengah, dan 600 rumah sederhana dan sangat sederhana.
Pengendalian pelaksanaan SKB ini secara nasional dilaksanakan oleh Menteri
Perumahan Rakyat, Gubernur, Bupati dan Walikota yang secara berjenjang
dikoordinasi di wilayah masing-masing.
Berdasarkan uraian di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah berperan sebagai regulator dan
bertanggung jawab terhadap segala kebijakan mengenai perencanaan, pengaturan,
pengendalian serta pengawasan rumah susun. Dari mulai tingkat pemerintah pusat,
daerah tingkat I sampai daerah tingkat II harus terus melakukan koordinasi guna
menjamin pembangunan rumah susun yang sesuai dengan nilai perbandingan SKB tiga
menteri. Hal ini sangat penting, karena dengan adanya nilai perbanding tersebut
dapat menjamin ketersediaan hunian bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Dengan adanya regulasi yang mengatur nilai perbandingan dalam pembangunan
perumahan, diharapkan para pengembang tetap memperhatikan pembangunan rumah
sangat sederhana dan sederhana, tidak hanya mengejar keuntungan saja dengan
membangun unit perumahan mewah.
Dalam Rencana Pembanguna Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) 2007-2012, penyelenggaran urusan Perumahan Rakyat diarahkan
terutama untuk meningkatkan ketersediaan rumah susun untuk memenuhi kebutuhan
penduduk berpenghasilan rendah. Artinya, pembangunan perumahan sangat sederhana
dan perumahan sederhana menjadi prioritas pemerintah bagi MBR.
Pada tanggal 3 April 2007 Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin
rapat terbatas kabinet yang membahas pembangunan rumah susun untuk masyarakat
menengah ke bawah. Pada rapat itu, Menteri Negara Perumahan Rakyat melaporkan
persiapan untuk pemancangan pertama rumah susun sejumlah 5 tower secara
serentak, yang kedepannya akan dikembangkan menjadi 10 tower, yang akan dilakukan di Pulo Gebang, Jakarta Timur.
Pemancangan ini akan dilakukan hari Kamis tanggal 5 April 2007, dimana di Pulo
Gebang itu tersedia untuk 10 rumah susun. Sekarang sudah 2 blok rumah susun
sederhana milik Perumnas, dan akan ditambah dengan 10 rumah susun yang lain di
sekitarnya. Dijelaskan oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat, proyek percontohan
ditetapkan di DKI Jakarta, Pulo Gebang 10 tower berjumlah 4.066 unit. di
Klender 7 tower, Cipayung 6 tower, dan di Cawang 1 tower, yang jumlah 14 tower
itu terdiri dari 6.596 unit. Di PIK Pulo Gadung 12 tower, dimana 12 tower ini
rumah susun hak milik dan 2 tower rumah susun sewa, dengan total berjumlah 4000
unit. Sedangkan untuk lokasi Marunda yang saat ini sudah ada rumah susun yang
dibangun oleh Pemda DKI, akan ditambah dengan 14 tower lagi dengan jumlah 1.380
unit, 5 diantaranya didanai dari APBN Kementrian Perumahan Rakyat, dan 9 tower
lainnya Pemda DKI Jakarta. Selain DKI Jakarta dan sekitarnya atau yang biasa
disebut Jabodetabek, ada 9 wilayah lain di Indonesia yang juga menjadi target
pembangunan rumah susun sederhana ini, yaitu Medan, Batam, Palembang, Bandung,
Semarang, DIY, Surabaya, Banjarmasin dan Makasar. Kesepuluh wilayah itu
dianggap wilayah-wilayah yang semakin padat dan semakin mahal harga tanahnya,
sehingga potensi untuk membangun rumah sederhana sehat untuk tidak bersusun
atau landed house itu semakin mahal.
Pencapaian
pembangunan rumah susun sederhana sampai dengan tahun 2009, antara lain:
- Tersedianya fasilitas rumah susun layak huni sebanyak 2 blok di Cipinang Besar Selatan yang dibiayai melalui APBD.
- Penyelesaian pembangunan Rusun Marunda Cluster B Blok 1, 2, 3 & 6.
- Penyelesaian pembangunan Rusun Cakung Barat Blok 1 & 2.
- Penyelesaian pembangunan Rusun Pinus Elok lokasi A Blok 1 & 2, lokasi B Blok 1, lokasi B Blok 2.
- Pembangunan dan perencanaan Rusun Pulo Gebang Blok 1.
- Terlaksananya monitoring pelaksanaan program 1.000 tower.
- Dibebaskannya lahan lokasi pembangunan rusun seluas 24.325 m2.
- Terlaksananya pemberdayaan masyarakat pada 8 lokasi Rumah Susun sebanyak 200 KK
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi,
utamanya dalam upaya pencapaian target urusan rumah susun antara lain:
- Masih rendahnya aksesibilitas masyarakat berpendapatan rendah terhadap hunian yang layak dan terjangkau. Kondisi ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan pemerintah/pemerintah daerah dalam melakukan fasilitasi serta masih kurangnya dukungan dunia usaha dan lembaga keuangan dalam pembangunan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah sehingga mengakibatkan belum optimalnya target kepemilikan rusun.
- Perlunya percepatan penyediaan rumah susun (minimal 30 m2/unit), mengingat penyediaan rumah susun yang ditargetkan pada tahun 2009 sebanyak 1000 unit baru mencapai 500 unit, sementara itu target yang masih harus dicapai selama tiga tahun kedepan mulai tahun 2010 hingga tahun 2012 sebanyak 8500 unit, masing-masing sebanyak 2.000 unit pada tahun 2010, dan 3.000 unit pada tahun 2011 dan sebesar 3.500 unit pada tahun 2012.
- Rusun-rusun yang telah terbangun baik dengan dana APBD maupun yang dibangun oleh Pemerintah Pusat banyak yang belum dihuni, hal ini terjadi karena belum semua rumah susun yang telah dibangun dilengkapi oleh sarana dan prasarana jaringan utilitas.
Dengan memperhatikan pencapaian dan
permasalahan-permasalahan di atas, kebijakan yang akan ditempuh pemerintah
adalah sebagai berikut :
- Percepatan pembangunan rumah susun yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana serta jaringan utilitas.
- Menyiapkan perencanaan (Master Plan / strategic plan) pembangunan rumah susun yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
- Penyiapan dan pemberdayaan masyarakat calon penghuni rusun untuk menghuni rusun yang telah terbangun, termasuk penyiapan lembaga pengelola rusun yang efektif, efisien dan akuntabel.
- Pembangunan prasarana, sarana dan utilitas pendukung rumah susun untuk mempercepat penghunian rusun.
- Percepatan proses penyerahan pengelolaan Rusun dari Pemerintah Pusat kepada Pemprov, sambil menunggu proses penghapusan aset di Pemerintah Pusat.
Dalam usaha percepatan pembangunan rumah
susun, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) II 2010-2014, dimana salah satu
permasalahan dan agenda pentingnya adalah upaya percepatan pembangunan infrastruktur, termasuk di dalamnya masalah pembangunan perumahan dan pemukiman guna memenuhi kebutuhan
masyarakat akan papan yang layak dalam
lingkungan yang sehat. Dalam rangka mewujudkan visi dan misi presiden tersebut dilakukan pembangunan ribuan unit rumah sederhana (RS)
dan rumah sangat sederhana (RSS)
termasuk pula pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) sebanyak 50 ribu unit dan Rumah Susun Milik (Rusunami) sebanyak 25
ribu unit bagi kebutuhan masyarakat
berpenghasilan menengah kebawah, dengan tingkat penghasilan di bawah
Rp.4.500.000 per bulan, melalui peran serta
swasta atau kerjasama
pemerintah dan swasta (Public Private Partnership).[1]
Guna menindak lanjuti Perpres Nomor 6 Tahun 2010 tersebut, pemerintah telah
menerbitkan Keputusan
Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 2010 tentang percepatan pembangunan rumah susun di kawasan
perkotaan, khususnya pembangunan Rusunawa dan Rusunami
sebanyak seribu Tower Apartemen Murah untuk Rakyat (Pro Populis) sampai dengan tahun
2015 dengan mendapatkan subsidi dan insentif dari pemerintah/Pemda.
Pembangunan Rumah susun sederhana ini
diprioritaskan di kawasan perkotaan dengan jumlah penduduknya di atas 1,5 juta
jiwa.
Kebijakan percepatan pembangunan perumahan dan pemukiman serta Rumah Susun tersebut sangat
bijaksana, mengingat kebutuhan perumahan yang layak huni tersebut terus meningkat.
Meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan pemukiman sangat erat kaitannya dengan kependudukan
seperti jumlah penduduk, laju pertumbuhannya, dan
perubahan rata-rata jumlah jiwa per keluarga. Hal tersebut merupakan masalah yang dihadapi, terutama di
kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan
Semarang.
Menurut AP.
Parlindungan, pembangunan Rumah Susun,
terutama di wilayah perkotaan merupakan suatu keharusan, sebagai akibat terbatasnya tanah untuk perumahan tersebut dan permintaan akan papan yang semakin tinggi.[2] Hal ini
berkaitan pula dengan kecenderungan berpindahnya rakyat ke perkotaan
akibat urbanisasi. Diperkirakan sekitar
50 persen penduduk Indonesia dalam tahun 2020
akan bertempat tinggal di perkotaan, atau kurang lebih sekitar 120
juta jiwa. Menurut Arie S. Hutagalung, kelima kota besar di Indonesia akan memerlukan tanah
sekitar 8000 Hektar tiap tahunnya[3].
Menurut Perpres Nomor 6 Tahun 2010 tentang RPJM tersebut di atas, jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah
tinggal sebanyak 4.338.864 di tahun 2010. Menurut Majalah Legal Review, ada
sekitar enam juta keluarga di Indonesia yang
belum sejahtera papan, ditambah 800 ribu keluarga per tahun yang membutuhkan rumah
Untuk
menunjang program percepatan pembangunan rumah susun, pemerintah bersama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat RI telah menyepakati Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) Tahun 2012 yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 2011
tentang APBN Tahun 2012. Anggaran pembangunan infrastruktur pemukiman sebesar
Rp. 33,4 Triliun. Dua point penting dalam peruntukan anggran tersebut yaitu : [4]
1.
|
Pembangunan
175 twin block rusunawa, 48 twin block rumah susun beserta
infrastruktur pendukungnya;
2. Peningkatan lingkungan hunian masyarakat di 3000 desa.
Dana APBN untuk pembangunan rumah susun dirasa masih kurang, untuk itu
diperlukan kerjasama dari pihak swasta dalam pelaksanaannya. Tidak bisa di
pungkiri bahwa pembangunan rumah susun sangat sederhana dan sederhana yang
diperuntukan untuk MBR kurang diminati para pengusaha property nasional. Pembangunan unit rumah susun mewah menurut para
pengusaha property nasional lebih
menjanjikan keuntungan. Kemampuan ekonomi masyarakat calon penghuni atau calon
pemilik rumah susun mewah yang diatas rata-rata menjadi pertimbangan oleh jasa
penyedia keuangan guna pembayaran unit rumah susun. Dengan adanya pertimbangan
ekonomi oleh jasa penyedia keuangan secara otomastis MBR kurang mendapatkan
kepercayaan untuk memperoleh kredit perumahan. Dukungan dan peran serta
pemerintah sangat di perlukan guna menjamin tersedianya unit rumah susun dengan
harga yang terjangkau oleh MBR serta tersedianya jasa pelayan keuangan guna
pembiayaan unit rumah susun.
Wakil Presiden Republik
Indonesia periode 2004-2009, Yusuf Kalla berkaitan dengan pembangunan rumah
susun, menghimbau para pengusaha property
nasional supaya mendukung program yang bertujuan menghemat tanah, membuat
ruang terbuka, serta mengurangi pemakaian bahan bakar minyak dan ongkos
transportasi lainya[5]. Selain dapat menghemat penggunaan tanah, pembangunan
rumah susun juga berperan dalam mengurangi pemakaian bahan bakar minyak,
penghematan ongkos transportasi dan tentunya juga dapat mengurangi kemacetan di
jalan. Hal ini di karenakan pembangunan rumah susun yang hemat tanah dapat dibangun tidak jauh
dari central-central lapangan pekerjaan tempat para penghuni rumah susun
mencari nafkah. Selain itu, dengan dibangunnya fasilitas pendukung lainya
seperti pasar dan sarana pendidikan disekitar rumah susun tentunya akan
mempunyai dampak yang sangat menguntungkan.
Menanggapi himbauan Wakil
Presiden tersebut, pengusaha swasta nasional, Ciputra memberikan tanggapan:
“Bila peraturan pemerintah tentang proyek perumahan telah diterbitkan, Ciputra
optimis pemerintah mampu menyediakan sedikitnya 3 juta unit hunian per tahun.
Ciputra sendiri menyanggupi mampu menyediakan 20 ribu unit dengat harga sekitar
Rp. 60 juta per unit. Kalau bunga kredit properti 10 porsen, pertumbuhan jumlah
rumah bisa mencapai 20 porsen pertahun”.[6]
|
Lebih lanjut surat kabar Suara Pembaruan, dalam Tajuk
Rencana “Rusun Harus Tepat Sasaran” memberikan komentar:
|
“Oleh karena itulah, pencanangan pembangunan rumah susun
1.000 tower di perkotaan yang dilakukan pemerintah diharapkan membawa angin
segar bagi masyarakat ibu kota dan kota-kota lain di Indonesia yang selama ini
sulit mendapat rumah. Dengan pembangunan rumah susun itu, persoalan tanah yang
mahal dapat sedikit teratasi karena beban ditanggung pemilik rumah susun
tersebut”.[7]
[1] Perumnas, Pengembangan “ Penyelenggaraan
Rumah Susun Sederhana Perum Perumnas “
Divisi Usaha,
Edisi Kedua, 18 Maret 2009, hlm. 15.
Undang-Undang Rumah Susun, Mandar Maju
Bandung, 2001, hlm. 91
Indonesia, Depok, 1998, hlm. 2.
[4] Harian Kompas, Edisi
Selasa, 20 Desember 2012, APBN 2012
[5] Harian Kaltim Pos, Edisi Selasa 5 September 2006, Ciputra Siap Bangun 20 Ribu Unit Rusun, Wapres
Janjikan Subsidi Kredit 5 %, hlm.1dan 9.
[6] Kaltim Pos, Ibid
[7] Harian Suara Pembaruan, Tahun XXI7085, Jumat, 20 April
2007, Tajuk Rencana, Rusun Harus Tepat
Sasaran, hlm.4
0 Komentar:
Post a Comment